Kertas Daur Ulang – The Ending

.

—*—

Bossku heran, aku yang biasanya menjadi sosok paling datar di kantor, menjadi terlihat begitu segar dan semangat menjalani hari. Tugas apapun yang diberikan, yang biasanya sukses membuatku enggan bicara banyak dengannya, terselesaikan dengan segaris senyuman lebar yang tergambar.

Ardi

Sosok yang membuatku sumringah menjalani hari. Yang mampu memompa semangatku dalam keadaan paling menyebalkan sekalipun. Sikapnya yang tenang dalam menghadapi masalah sedikit banyak mempengaruhi pola tingkahku. Mendewasakan apa yang seharusnya memang sudah dewasa mengingat usiaku yang juga tak lagi terlalu muda.

Entahlah, meskipun dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku mulai membicarakan tentang hubungan yang kami miliki, aku tak pernah mempermasalahkannya. Toh pelukannya selalu ada setiap kali aku merindukan dia, dengan segala daya tarik yang selalu menyertainya.

—*—

Malam itu dia datang lagi. Mengunjungiku dalam bilik kecil kamar yang menjadi istanaku menikmati kesendirianku, paling tidak sampai kisah antara kami dimulai, 11 bulan yang lalu.

Dia tak terlihat seceria biasanya. Tapi sudahlah, kutepis kecurigaanku. Mungkin itu Cuma sekedar perasaanku, atau mungkin saja dia terlalu letih dengan event terakhir yang dihandle-nya.

Sekedar menanyakan kabar, aktivitas di kerjaan dan mencium kening sambil lalu, dia meneruskan langkah ke kamar mandi, menyambar handuk warna ungu tua yang memang selalu kusediakan untuknya. Membersihkan diri. Kalau sudah begitu, berarti dia akan bermalam disini. Aku sudah lumayan hapal dengan kebiasaan satu ini.

Dia memelukku erat. Masih dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Pakainnya tadi disampirkan sekenanya ke gantungan baju yang terpaku di ruang kecil sebelah lemari bajuku. Aroma sabun bercampur dengan aroma kelelakiannya, sungguh melenakan. Aku menikmatinya.

Rambut basahnya yang dibiarkan acak-acakan justru membuatnya nampak lebih seksi.

Dia mencium telinga kananku, kemudian berpindah ke leher. Area mati! Area yang selalu saja membuatku meminta untuk berbuat lebih, dan dia tahu persis akan hal ini!

Kami bercumbu malam itu.

—*—

Aneh. Alih-alih mendekapku hingga aku terlelap, dia justru beranjak dari ranjang kami yang sudah entah seperti apa rupanya. Berlalu ke kamar mandi. Kudengar percikan air dari dalam sana. Dia membersihkan diri.

“Kamu gak nginep?”, tanyaku keheranan ketika melihat dia memakai celana panjangnya.

“Pakai dulu bajumu. Kita perlu bicara”, jawabnya sambil meneruskan aktifitasnya memakai semua baju yang tadi dia pakai.

Kuraih boxer yang masih terjuntai di pojok kanan ranjang, dan kaos yang sudah teronggok di kaki ranjang. Ada apa gerangan dengan orang ini? Tak biasanya dia bersikap sedingin ini setelah kami bercinta. Ah, aku merindukan pelukan hangat penuh keringat pada saat-saat seperti ini.

Dia mengambil kursi kerjaku. Mendudukkanku di tepian ranjang, menatapku dengan pandangan lara, untuk kemudian berkata…

“Maaf Ka, mungkin itu adalah kali terakhir aku mendekapmu seerat itu. Kita harus mengakhiri apa yang selama ini ada di antara kita”, satu kalimat setelah dia berulang kali membuang napas berat.

“Maksudmu apa, Ar? Kalau kau anggap ini sebuah candaan tengah malam, ini sungguh sangat tidak lucu!”, kataku sambil menggenggam tangannya yang tertumpu di kedua lututnya.

Dia melepaskan genggaman tanganku, mengangsur ke tas kantor yang tadi dibawanya, tergeletak rapi di kaki meja kerjaku yang tak jauh dari sana. Membuka tas itu hati-hati, mengambil sebuah lembaran kertas tebal yang terlipat dua, memberikannya padaku.

Aku membukanya.

Sebuah surat undangan manis, terbuat dari kertas daur ulang dengan pita serabut yang mengelilingi sebuah foto pasangan calon mempelai. Tertulis dengan tinta emas nama calon mempelai “Rahardian dan Angela”.

Seperti dihantam oleh seorang punggawa kerajaan dengan godamnya, tepat di jantung.

Kertas undangan itu jatuh dari tanganku yang gemetaran hebat. Lembaran busuk itu kurasa panas membakar kulit tanganku, hingga terlalu menyakitkan untuk kugenggam terlalu lama.

Dan pria gagah di hadapanku, hanya tertunduk, tak berani menatapku yang mungkin sudah mengeluarkan roman seperti apa. Aku tak peduli.

Masih gemetar hebat, aku beranjak, membuka pintu lebar-lebar tanpa mengucapkan satu patah katapun. Dia HARUS mengerti artinya.

Dia mengambil tasnya dengan gamang. Meraih kunci mobil yang dia taruh di meja kerjaku dan melangkah keluar.

Dan saat dia melintasiku…

“Ka….”

“Pergi dari hidupku”, potongku datar sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.

Aku tahu dia menatapku, mencoba berkata lewat sorot matanya. Tapi maaf, aku lebih memilih memandang kegelapan malam saat itu. Kupertegas dengan uluran tanganku ke arah luar ruangan, mempersilakan dia pergi secepat dia bisa.

Dan dia pergi, berlalu dengan semua asa yang sempat kupikir bisa kupupuk tiap harinya.

Aku menutup pintu dengan mata yang panas. Antara emosi dan kehancuran hati yang luar biasa. Kursi yang tadi dia duduki, menghambur ke arah dinding meneruskan energi yang kulampiaskan pada tapak kaki.

Malam itu, guling yang harus sabar menghadapiku.

—*—

Tidak mudah bagiku untuk kembali ke keadaan ketika aku masih menjadi raja untuk duniaku sendiri. Saat dimana seorang Rahardian tak pernah sekalipun berkelebat dalam pikiranku, menyembul liar dalam desah nafasku.

Dan aku harus membiasakan diri lagi dengan sindiran kecil dari bossku

“Halah, buat kamu yang masih single, gak terlalu ribet juga khan?! Toh daripada bengong di kamar”.

Dear boss, i’m total available now. 24 hours!

6 thoughts on “Kertas Daur Ulang – The Ending

Leave a reply to colourgay Cancel reply