Intuisi – Cangkir Kedua

.

Sesapan terakhir, aku harus benar-benar fokus. Aku ingin punya kendali. Atas kopi ini maksudku. Bukan Alex.

Kusesap lagi dan kurasakan betul kopi itu.

“kopi kental…. susu… coklat murni… kahlua liquor… dan… cinnamon…”, kataku, pelan sambil masih memejamkan mata, menikmati benar rasa kopi itu.

“Tepat sekali, dan kami menyebutnya Acapulco Wave Cappucino. And that’s coffee, is free now”, sahut barista pemilik stand itu.

Jadilah si Alex tawananku seharian itu. Mengekor kemana aku ingin berjalan-jalan mengelilingi festival itu. Bahkan dia manut saja ketika kutawari untuk menghadiri acara fashion show yang akan digelar malam nanti.

—*—

Guesthouse ini kecil saja. Rumah penduduk yang sebagian bangunannya disisihkan untuk disewakan. Petak-petak kamar yang disewakan pun Cuma 6 kamar. 4 ruang di lantai bawah, 2 ruang di lantai atas. Kamarku sendiri adalah kamar nomor 5, di lantai atas, di ujung lorong. Kamar favoritku kalau stay di situ.

“Eh, stay di sini juga, toh?!”, sapaku ketika mencapai lantai dua. Aku melihat si wartawan tadi duduk santai di teras kamarnya. Dan aku pastinya harus melewatinya.

“Eh, kamu. Iya, nih. Cari yang deket aja biar gak kebanyakan acara”, jawabnya sambil meletakkan cangkir kopi yang tadi sedang diseruputnya.

Aku langsung permisi menuju kamarku. Sudah ingin sekali mandi dan sedikit merebahkan diri.

—*—

Acara fashion show yang digelar kurasa sangat membosankan. Tidak ada item yang berhubungan dengan kopi sama sekali. Bukankah ini festival kopi?

Ah, mungkin festival ini hanya mendompleng event saja, bathinku.

Kalau bukan karena kehadiran Alex, mungkin aku sudah lebih memilih pulang ke guesthouse, sekedar santai membaca buku atau menikmati acara tivi. Tujuanku kemari khan karena kopi.

Jam 8 malam, tidak ada lagi alasanku untuk bertahan di tempat itu ketika Alex pamit mengundurkan diri. Dia ada janji dengan beberapa teman di sebuah lounge tak jauh dari itu. Dia bahkan tak menawariku sama sekali. Great!!!

—*—

“Kupikir kau akan mengikuti bule itu”, suara di sebelahku mengagetkanku. Dia bahkan tidak memandangku sama sekali. Hanya sibuk dengan kameranya, tertuju pada panggung peragaan busana di tengah halaman utama Museum Puri Lukisan.

“Mungkin karena itu kau terlihat sangat berbakat jadi wartawan, ya. Gampang menebak”, kataku.

Dia menjauhkan kamera dari matanya, membiarkannya tergantung begitu saja di talinya.

“Mungkin sebaiknya kau mengenalku sebagai Tommy, bukan sebagai wartawan”, katanya sambil menjulurkan tangan kanannya.

“Oh OK, Tommy yang hobi menebak”, sambutku.

“Dan aku memang harus menanyakan namamu?”, lanjutnya, tidak melepaskan tanganku.

“Bukankah itu sesuai dengan profesimu? Melemparkan pertanyaan?”, tukasku.

“Oh… atau mungkin kau menikmati genggaman tanganku?”, kelakarnya.

You wish, man! OK. Aku Johanes. Panggil saja, Djoe”, kataku sambil mengibaskan tangannya.

“Ok. Salam kenal, Djoe yang tidak jadi malam mingguan dengan bule”.

“Dan malah terjebak dengan wartawan konyol yang tebakannya sotoy mampus”, balasku.

“Oh… itu kode untuk terjebak denganku?”.

Oh my… God must be workless to meet us here! Go grab some pictures with you camera, journalist!”, kilahku.

“Sudah kebanyakan. Lebih dari cukup. Lagipula acara ini membosankan. Makan malam aja, yuk?!”, ajaknya.

Give me one reason that can make me go with you!”, tantangku.

“Pertama, fashion ini tidak ada hubungannya dengan kopi. Dua, si bule yang menjadi alasan kau tetap mau mendatangi acara semembosankan ini sudah pergi. Ketiga, I think you’re cute enough to be my sat-nite friend”, jawabnya.

“Bangke!”.

I consider it as yes. So, let’s go. I know a small nice cafe close from here”, dan dia berdiri tanpa menunggu jawabanku, dan aku mengikutinya pula. Entah.

—*—

“Jadi, kau benar-benar kabur kesini hanya untuk menghadiri festival kopi ini?”, tanyanya ketika kami sudah duduk sebuah wine lounge kecil, tak begitu jauh dari Museum Puri. Menikmati botol kedua yang mampir di meja kami.

“Begitulah”, jawabku, sambil mendentingkan gelasku ke gelasnya, lalu menyeruput cairan merah beraroma kuat itu.

“Wajar jika rekan-rekan kerjamu menganggap kamu sinting”, sahutnya.

And do i have to care?”.

You’ve got the point. I like your way to think”.

Really only the way i think?”, kelakarku.

Then i have to show you something”, tukasnya sambil mengeluarkan kamera yang diletakkan di tengah meja. Menyalakan dan menyetelnya dalam mode display, lalu menyerahkan padaku.

Aku menerimanya dengan pandangan bertanya.

Just take a look. Move to right for the next picture, please”, terangnya.

Aku memandangi layar kecil kamera itu. Menekan tombol next dan berulangkali menemukan fotoku, dalam berbagai pose menikmati cangkir kopi itu.

“Sepertinya kau lebih berbakat jadi wartawan Splash TV daripada majalah mode yang jadi markasmu sekarang”, kataku sambil mengembalikan kamera setelah selesai mengamati gambar-gambar bidikannya.

“Aku hanya menuruti insting ketertarikanku saja”, tukasnya.

“Hahahahaha… Stupid line! Hey,,, wait… you… interesting… me?”, kelakarku.

Oh come on, don’t be so naive. Kalau aku tidak tertarik denganmu, untuk apa aku banyak membidik potretmu”.

“Hmmmmm… Let see. You’re not that bad to be saw”, candaku.

“Jika kau bandingkan aku dengan bule berotot yang bahkan menawarimu ikut minum pun tidak, pastinya aku lebih baik dari dia, khan?”.

“Oh hey… kau menguping juga? Freak!”.

If i didn’t push myself to, then how can we spend time in this nice table with this nice wine, now?”.

Benar-benar orang ini. Frontal. Dan aku menikmatinya, hingga kami mengakhiri isi botol wine kedua tadi.

—*—

“Djoe, aku mau menunjukkan sesuatu. Bisa minta waktunya sebentar?”, tanya Tommy ketika kami sudah sampai di depan kamar kami masing-masing, di lantai dua guesthouse itu.

“Kalau tidak lebih dari setengah jam, mungkin aku masih bisa menahan mata”, jawabku, urung memasukkan anak kunci ke gagang pintu kamarku, lalu mendekatinya.

Dia membuka pintu kamarnya, langsung menuju ke sebuah meja kerja yang terletak berseberangan dengan ranjang. Membuka laptop yang tergeletak di sana, lalu menyalakannya. Aku mengikuti dan mengamatinya.

“Ini, iseng sore tadi aku membuat artikel yang mungkin akan jadi bahan presentasiku sepulang dari sini”, katanya sambil beranjak dari kursi itu. Mempersilakan aku duduk dan melihatnya.

Sebuah artikel cukup panjang mengenai festival kopi siang tadi, dan beberapa foto dari ilustrasinya. Nampak fotoku disana, sedang memegang sebuah cangkir berisi Acapulco Wave Cappucino yang kumenangkan tadi.

“Aku malah sedang berfikir kalau fotomu lebih fokus ke aku daripada kopi yang seharusnya jadi point utamanya”, kelakarku.

“Bagus jika kamu menyadarinya”, tukas Tommy, berdiri setengah membungkuk dengan satu tangan bertopang di meja dan satu lainnya di punggung kursi yang kududuki.

Sisa aroma wine yang kami tenggak tadi, bisa kucium dari mulutnya, yang kini berjarak terlalu dekat. Bercampur dengan aroma lelaki yang menguar begitu kuat dari tubuh Tommy. Tubuhku yang sudah mendapat sensasi hangat dari wine tadi, sekarang makin memanas. Hanya ditambah debaran jantung yang semakin mengganas.

“Tom…”

Aku bahkan belum sempat menyelesaikan namanya ketika dia membungkamku dengan bibirnya. Menempatkan bibir bawahku tepat di antara bibirnya yang meski perokok tapi merah gagah. Membuat darahku semakin berdesir naik ketika dia menyesap lembut bibirku.

Seperempat dari intuisiku mengatakan ini terlalu cepat. Tapi tiga perempat dari intuisiku bahkan ingin kejadian ini dipercepat. Kusingkirkan dulu intuisi, aku ikuti naluri.

Aku pasrah, kupejamkan mata dan kunikmati permainan bibirnya yang begitu lincah. Berani namun gentle. Bahkan aku tak sanggup menahan dorongan untuk meletakkan tanganku di panggulnya, untuk kemudian berdiri. Mengimbangi.

Kami melebur satu sama lain malam itu. Bersimbah peluh ditengah dinginnya hawa Ubud. Saling menggagahi satu sama lain. Hingga hampir pagi. Tiga kali.

—*—

Aku sedang menikmati secangkir kopi Bali di teras kamar ketika Tommy keluar, hanya memakai boxer warna merahnya. Harus kuakui bahwa orang ini ternyata memiliki tubuh yang indah.

“Pagi…”, sapaku.

“”Hmmmm… pagi. Bangun jam berapa, tadi?”, sahutnya.

“15 menit yang tenang sebelum kau bangun”.

“Sialan! Boleh?!”, tanyanya menunjuk cangkir kopiku.

Aku menyerahkannya, mempersilakan dia mencicipi.

“Blah… tanpa gula?”.

Aku terbahak menikmati  ekspresi wajahnya yang sibuk melepehkan sisa kopi yang diseruputnya tadi.

“Hey… nikmatnya kopi khan memang terletak di pahitnya”, kilahku.

“Boleh… So, hari terakhir sebelum besok balik ke ibukota?”, tanyanya.

“Iya, penerbangan pagi dan langsung kembali ke kantor”, jawabku.

“Sama kalau begitu”.

“Naik?”

“Kalau kamu Garuda, berarti aku naikin kamu”, candanya sambil berdiri, lalu kembali masuk kamarnya, mengedipkan mata sebelum masuk.

“Badat!!!”, teriakku, sambil menyusulnya.

Kami bercinta.

—*—

Kami check-in di bandara jam 7 pagi. Iya. Ternyata kami memang satu pesawat. Itulah kenapa akhirnya kami check out bersama jam 5 tadi, lalu bergegas menuju bandara dengan mobil yang sudah kami pesan malam sebelumnya.

Festival kopi itu?

Masih tetap kunikmati. Tapi di luar itu, yang kuingat, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Tommy. Juga waktu dan… tenaga.

“Cincinmu bagus”, kataku sambil mengencangkan sabuk pengaman ketika kami sudah duduk di dalam pesawat.

“Oh… ini? Iya. Kubeli kemarin di jewelry kecil depan Museum Puri. Aku suka motifnya. Simple”, katanya.

Sebuah cincin sedikit lebar, kutaksir terbuat dari emas putih, dengan pelisir emas kuning di tengahnya. Simple memang, tapi justru terkesan elegan.

“Dan di jari manis kanan?”, tanyaku.

“Sengaja. Terlalu banyak digebet orang juga melelahkan, kau tahu?!”, candanya.

“Pesawat belum jalan dan sepertinya aku sudah mau mabuk udara!”, kataku sambil membuang pandangan ke arah jendela.

Dia terbahak-bahak.

—*—

Akhirnya sampai juga di ibukota. Mari bersiap diri dengan keruwetan lalu lintas yang ada.

Seturunnya dari pesawat, Tommy kulihat begitu terburu-buru. Pun sibuk dengan gadgetnya.

“Kita pisah sampai di sini saja ya, Djoe”, pamit Tommy sambil mengulurkan tangan, bersalaman.

“Padahal baru saja aku mau menawarimu untuk naik taksi bareng. Toh, kantorku juga berada di jalan yang sama dengan markas beritamu itu”, kataku, menerima uluran tangannya.

“Maaf deh, ya. Dan ngomong-ngomong, senang berkenalan denganmu. Aku duluan, ya”, timpalnya. Dan tanpa menunggu jawaban dariku, dia sedikit mempercepat langkah, meninggalkanku beberapa langkah di belakangnya.

Intuisi dan logika berkejaran dalam benakku, seiring langkah. Tergerak untuk mengatakan terima kasih, atau meminta nomor telponnya, atau entah apa nanti.

Aku mempercepat langkah, tanpa berlari.

“To….”, suaraku yang memanggilnya tercekat.

Di sana, di teras terminal kedatangan yang hiruk pikuk oleh para penjemput, aku lihat dia. Begitu dekat, menikmati sebuah pelukan dari lelaki yang menjemputnya, erat meski singkat. Sekilas, dari jari manis kanan tangan lelaki yang menjemputnya, terlihat berkilau sebuah cincin yang bercorak sama persis dengannya. Cincin lebar dari emas putih, dengan lilitan warna emas di tengahnya.

Sejenak aku termenung. Semenit. Aku memutar langkah ke arah kiri. Menghindari rute yang sama dengan mereka. Jika memang istilah “Holiday Lover” itu benar-benar ada, aku harus mengucapkan selamat untuk diriku sendiri. Aku baru saja menikmatinya!

Intuisi???

Lain kali aku akan lebih menggunakan intuisiku untuk mengenali rasa kopi, jauh lebih baik!

16 thoughts on “Intuisi – Cangkir Kedua

    1. Bwakakakakaka
      Mr. Cino… guess what, waktu bikin bayangan tentang tu festival, bayangan Tarjo adalah Mr. Cino benar2 ada di festival itu.
      Hayo… situ Djoe atau Tommy? Atau malah Alex?
      #Dhuarrr

  1. Satu yang selalu saya tangkap, kang tarjo selalu memperhatikan detail. Semuanya tertata rapi, bahkan untuk setiap hal terkecil. Terkesan ribet, tapi saya selalu suka. Ubud dengan sejuta pesonanya, huhuuhu. Semua orang pernah memimpikan ini. Liburan, get laid, dan menikmati semuanya.

    *kenapa saya menjadi lebih bawel yah?*

    1. Waduh, terima kasih banyak Mr. Cino
      Karena menurut saya pribadi, bukankah hal-hal kecil yang justru menimbulkan penggambaran besar?!
      Huehehehehehe

      Eh kalo mau ke Ubud, ajak-ajak donkkkkk….

      Dan btw, koq aku komen di blog sampean gak pernah bisa ya?
      Apakah kata2 Tarjo belum pantas diterima?
      #SengajaNyariPerkara

  2. instusi?? “sex sesaat” mmg sering dilakukan pria, bukan? dan Djoe menikmati moment itu, hingga 2 x mrk brhubungan. aku harap joe tidak menyesal :)

    1. Intuisi kali ya, mas??

      Kalo masalah menikmatinya, sure Djoe menikmati.
      Having sex with gorgeous guy and gorgeous style, who doesn’t??
      Cuma mungkin dia kelewat pake hati
      Dia sempet berharap lebih ke si Tommy, dan harapannya remuk ketika melihat cincin bermotif sama dari yang menjemput Tommy itu
      Pelik :)

  3. so…jika having sex tak perlu pakai hati ya? ya iyalah…kalau ML kan pake na tongkat! wkwkwkwk…ayo main pedang2an…hayaah

    1. Tergantung sex bagaimana yang kamu lakukan
      Kalau dari awal sudah tau itu ONS, then why should you bothered yourself by involving love story in?
      ;)

  4. Tapi mas jo, yang aku bingung adalah kenapa si Tommy ini seperti sudah mengetahui kalau Djoe, PLU. Apakah aura Djoe begitu hebat sehingga Tommy langsung sadar ataukah radar Tommy yang kelewat kuat.

    Tapi memang bisa aja sih kejadian seperti ini dalam kehidupan nyata. Maaf-maaf, baru meletek jadi ga ngerti apa2. Hihihi.. (ˆ⌣ˆ)

Leave a reply to Molan Cancel reply