Langkah Akhir

Pernyataan dan pertanyaan sederhana, tapi terasa menamparku bolak-balik.

Brengsek!

Bukan pertanyaan semacam itu yang kuharapkan. Semudah itukah kau menyerah pada hubungan yang sudah kita bina? Pada sifatku yang ternyata memang kekanak-kanakkan. Iya, baru kusadari itu sepuluh menit yang lalu. Sepuluh menit yang membawa kami dalam keheningan yang memuakkan.

Setengah dari diriku ingin mendekatinya, lalu mendaratkan satu atau mungkin dua pukulan agar dia sadar bahwa pembicaraan ini sudah salah arah. Seperempat dari diriku malah ingin aku segera beranjak dari tempat ini, pergi.

Seperempat yang lain sibuk membujuk mataku untuk berproduksi.

——————-*

 

Dia menangis.

Dan aku benci melihatnya.

Setelah berpuluh-puluh menit aku menunggu, dia hanya menjawab semuanya bahkan hanya dengan lelehan air mata tanpa suara? Ini bisa berarti apa saja.

Setengah dari diriku memaksa diriku untuk segera beranjak dari tempatku duduk, bukannya menjadi pengecut yang membiarkan dia, jantung hatiku, menangis dalam diam, dan hanya memalingkan muka ke langit-langit.

Tapi setengah dari diriku memaksaku untuk tetap kejam. Bukan, bukan kejam yang dia bisikkan, melainkan ketegasan. Sudah waktunya bagi dia untuk benar-benar mengerti bahwa hidup adalah tentang pilihan. Akan kemana pilihanmu membawa langkahnya.

——————-*

 

“Padahal aku mengharapkan lebih dari ini”, kalimat ini akhirnya terucap juga. Hanya itu yang kurasa bisa mewakili apa yang aku rasa, aku harapkan dan aku dambakan dari beberapa hari yang lalu.

Sebuah atensi.

Itu saja.

Tidakkah kau merasakannya?!

Aku hapus air mata yang menetes dengan sekali usapan di masing-masing pipi. Aku beranjak dalam kelesuan seperti penderita busung lapar. Menurunkan koper warna coklat dari atas lemari, membukanya perlahan.

Anak sungai menggaris lagi.

——————-*

 

Haruskah dia benar-benar pergi?

Haruskah aku tetap berdiam diri?

Seharusnya aku yang tadi duduk di kursi itu. Aku yang seharusnya dituntut untuk sebuah jawaban. Aku seharusnya yang mengadili diri sendiri.

Denyut jantungku mencengkeram air mata, mengalirkan duka.

——————-*

 

“Padahal tadinya aku begitu berharap kau akan setidaknya menamparku ketika aku berkata seperti tadi. Bukan malah menghunjamku dengan pilihan bodoh yang seharusnya tak perlu kau tanya pun kau sudah tahu pilihan mana yang akan kuambil”, sambil mengatur nafas, kulontarkan kata demi kata.

Lara.

——————-*

 

Aku beranjak dari dudukku. Pelan menghampirinya, menghentikan tangannya yang sedang dalam gerakan lambat menurunkan beberapa kemeja dari lemari kami.

Kami berhadapan.

——————-*

 

Pipi kiriku begitu panas ketika telapak kanannya menghantam. Sedetik dua detik pandanganku sempat nanar.

“I did it. I did it! Please don’t leave me…”, disela dengingan telingaku yang masih berresonansi atas tamparan tadi, aku mendengarnya. Terbata, penuh luka.

——————-*

 

Dia menghambur ke pelukanku. Mengkaitkan erat kedua lengannya di atas pundakku. Aku masih bisa merasakan aliran darah dipipinya ketika pipinya menyentuh pipiku. Desiran darah dari tamparanku tadi.

“Maafkan aku, maaf. Aku sudah melupakan arti kesederhaan yang sudah berulang kali kau ingatkan dalam hubungan kita”, bisiknya disela isak.

Mengusap pelan punggungnya adalah surga.

——————-*

 

“Maafkan aku juga, ya. Aku sudah lupa bahwa hidup bukan hanya tentang roda yang berputar cepat. Aku tak lagi mengindahkan peringatanmu bahwa roda memang kadang perlu diperlambat demi menikmati hidup”, ucapnya lembut, sambil mengusap punggungku. Usapan penuh cinta yang selalu berhasil membuatku luluh dengan kasihnya.

——————-*

 

Kubenamkan wajahku di lehernya. Menikmati aroma yang sudah begitu kukenal selama lebih dari 2 tahun belakangan ini. Kukecup pangkal lehernya, dengan segenap rasa yang masih bisa kuberikan.

Debaran hatiku, dan debaran hatinya menyatu dalam pelukan kami.

——————-*

 

Aku melonggarkan dekapanku, mentautkan kedua tanganku dan menambatkannya di belakang lehernya. Tangannya kokoh bersandar di panggulku.

Pandangan mata kami bertemu. Pandangan mata teduh yang kurindukan itu. Yang akhir-akhir ini telah direnggut dunia dariku. Aku menemukannya lagi.

Kusatukan desah nafas kami dengan ciuman. Desah nafas yang makin menit makin menderu.

——————-*

 

Aku menikmati setiap inci dari tubuhnya. Tubuh yang memang seharusnya milikku, utuh dan terjaga. Desah nafasnya makin membrutal, pun nafasku.

Karena gelora dan cinta, bagi kami adalah satu.

Peluhku dan peluhnya, kami bersama-sama menikmati dunia.

——————-*

 

“Liburanku dua hari lagi, ke Tidung?”, katanya sambil mendekap punggungku, menggigit kecil pundakku. Keringat masih membanjiri tubuh kami. Masing-masing enggan untuk beranjak, masih menikmati sensasi dekapan sisa kenikmatan tadi.

Aku berbalik, senyum lebar tersungging di bibirku, begitu dekat dengan bibirnya.

Aku melumat bibirnya, itu jawabanku.

Selanjutnya kami bercumbu, berpelukan erat dan bercinta, berpelukan lagi, bicara lewat hati, hingga petang menjelang.

 

*- End -*

13 thoughts on “Langkah Akhir

  1. OKE! Bener kan dugaan Alan. Endingnya bakal kayak gini, itu namanya cinta. Bener! Cinta. Mau berapa kali pun berantem, tapi klo udah cinta. Salah satu pergi pun. Gak akan enak. Endingnya sama dan pernah aku alamin beginian dah! xD

    NB : Ujung endingnya pasti gesek gesek an! HOT! buakakkaka

  2. Ending di cerita begini bisa ditebak, ga jauh2 dari dua pilihan. Berpisah atau tetap bersama.

    Tapi yg buat ga bisa di tebak dan bikin penasaran adalah adegan demi adegan menuju ke endingnya itu.
    Pilihan kata2nya, alur ceritanya.

    Ada yg flat dan ga menarik dan ada yg walopun bisa ditebak tp tetep bikin dag dig dug.

    Dan yg ini bikin dag dig dug…

    #aihsedep

      1. Berakhir dengan salah satu mati, mungkin?

        Tokoh si adek, begitu kecewa, lari keluar kamar, dengan isak tangis, kemudian tertabrak trailer….

Leave a reply to dinda Cancel reply