Buih

.

Zodiak-ku? Aku sendiri bingung. Menurut ibu dan juga keluarga, aku ini Sagitarius. Tapi semua dokumen yang kumiliki dari Akta Kelahiran, KTP sampai berlembar-lembar ijazah yang kumiliki menunjukkan aku ini Taurus. Belakangan, di KTP yang kubeli lewat jalur belakang di kota perantauan ini malah membuatku berzodiak Aries. Aku tidak protes.

Entah, apapun itu, dari lambang-lambang mereka tidak ada satupun yang simbolnya mewakili laut, atau paling tidak berhubungan dengan laut. Berarti tidak ada yang mewakili kecintaanku pada laut. Toh, memang dari dulu aku tidak pernah percaya ramalan, apalagi zodiak. Jadi apa bedanya.

Aku begitu mencintai pantai. Debur ombak ketika memecah butiran pasir bagiku adalah sebuah harmoni maha dahsyat yang bisa kudengarkan tanpa khawatir dirundung bosan. Bonus jika pantai itu memiliki jalinan batu karang yang akan makin menambah irama buncah ombak yang datang.

Tapi bukan karena pantai kulitku bisa legam seperti ini.

Duduk berjam-jam di pantai sudah bisa memberiku kepuasan pribadi. Aku tidak suka tempat hangout. Terlalu ramai dengan celoteh kosong tanpa arti, terlalu ramai dengan orang-orang yang sepertinya masing-masing ingin tampil maksimal agar sedikit terlihat, terlalu banyak omong kosong. Setidaknya itu bagiku.

Di pantai pula aku bisa membiarkan diriku berimajinasi. Khayalan melaju dan membumbung tinggi, yang biasanya lalu kutorehkan dalam bentuk puisi, yang jika kubaca ulang ternyata hanya bercerita tentang satu orang.

Seperti sore ini, sudah 2 jam aku berdiam diri. Sendiri membiarkan otakku berjalan kesana kemari. Mentautkan kisah demi kisah yang aku kumpulkan dari pagi. Aku hanya akan beranjak pergi jika mentari sudah pamit undur diri. Senja nanti, akan kuakhiri semua ini.

Aku sedang menorehkan beberapa simbol yang beberapa tahun silam menjadi simbol kebesaranku, di akhir catatan yang sedang kubuat, ketika dia ikut duduk di sebidang batu karang agak landai di sampingku.

“Kau sudah yakin dengan semua ini?”, tanyanya, sedikit mengejutkanku yang sedang sibuk dengan berlembar-lembar kertas yang sudah kujalin dan kubendel rapi.

“Oh God, kamu bikin kaget saja”.

“So?”, ulangnya.

“Hmmmm… Hidup harus terus berjalan. Aku juga tidak mungkin terus menerus berkubang dalam duka yang sama seperti ini, khan?!”.

Dia menggenggam tanganku, kuat. Alih-alih sakit, yang aku rasakan justru ada banyak kekokohan disana, dan aku sudah membuktikannya paling tidak untuk 5 bulan belakangan ini.

“Jujur, aku bahagia jika kamu memang sudah siap melakukan ini. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku tidak pernah punya masalah dengan ini. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk melakukan apa yang sudah kau niatkan ini. Karena bagaimanapun juga, itu adalah masa lalumu, dan aku menghargai itu”, dia berkata sambil mempererat genggamannya di jemariku. Dan aku bisa merasakan kejujuran dalam tiap kata-katanya.

Aku memejamkan mata. Sejenak menghirup udara pantai yang basah, dalam-dalam. Kubalas genggaman tangannya sekuatku. Aku tertopang.

“Aku sudah memantapkan hati”, jawabku, sesungging senyum tergambar di bibirku. Tanpa kelu.

“Aku akan menunggumu di atas kalau begitu. Aku tak mau mengganggu prosesimu nanti”, katanya.

“Justru aku ingin kamu ada disini, nanti. Bukankah kau berniat menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dalam kisah ini?”, tanyaku.

“Kalau begitu aku ambilkan bunga. Masih di motor. Tadi kamu lupa bawa. Dan ini sudah hampir senja”, katanya sambil beranjak tanpa menunggu jawabanku.

Aku memandanginya berlalu. Mendaki tangga tebing menuju parkiran dimana motor kami berada. Punggungnya yang kokoh nampak begitu gagah, tangguh untuk menopangku yang sempat rapuh.

Kubenahi semua lembaran-lembaran kertas yang kubawa. Membendelnya dalam satu jalinan rapi, lalu memasukkannya ke dalam kotak plastik warna biru dengan hati-hati. Kubalut dengan plastik wrap agar kedap udara.

Nafasku memberat. Mataku menghangat. Aku berusaha kuat.

“Kau masih punya kesempatan jika ingin membatalkan niatmu ini, de’”, katanya. Tiba-tiba hadir dan meremas bahu kiriku dengan tangan kirinya. Seikat besar mawar merah tergenggam di tangan kanannya.

Aku menghela napas, meremas tangannya dengan tangan kananku, lalu maju. Aku turun ke air, hingga sebatas paha.

Rasa haru yang kutahan dari tadi akhirnya pecah ketika kakiku basah. Ditingkahi tamparan ombak yang terus menerpa, aku sekuat tenaga menahan isak. Dadaku bergemuruh. Hatiku gaduh.

Suara kecipak kecil dari arah belakangku. Aku tahu dia menyusulku. Sejekap memelukku dalam satu lengan, kemudian mensejajariku.

“Di… aku akan menjaganya, dengan segenap hatiku”.

Aku mengalihkan pandanganku padanya. Semua rasa seolah berkecamuk.

Dan aku ingin sendiri. Sangat ingin sendiri. Bukan berarti aku menyesali permintaanku padanya untuk ikut berada disini. Tapi aku mendadak sangat ingin sendiri.

Dan bahkan dia tahu.

“Aku tunggu di atas. Tak perlu buru-buru. Bahkan jika harus sampai esok pagi, aku akan tunggu”, katanya sambil tangan kirinya mengambil tangan kananku. Kemudian menengadahkan telapak tanganku, menaruh buket mawar yang sedari tadi ia bawa.

Dia beranjak pergi.

Ini saatnya…

Aku memejamkan mata, menengadahkan kepala, mengenang semua yang pernah ada, untuk terakhir kalinya.

“Hai Di… apa kabar?? Aku harap kau tenang disini. Tempat yang selalu kau anggap rumah. Tempat yang selalu kau celotehkan dengan aneka cerita dari perkara paus sampai lumba-lumba. Pasti kau sekarang berkawan akrab dengan mereka, khan?”

“Lima tahun yang lalu kita bertemu di sini. Empat tahun yang lalu kita bertukar janji di sini. Dan tepat setahun yang lalu, di sini pula kita harus berpisah”.

Aku berhenti berkata-kata sejenak. Mataku sudah sangat panas.

“Tiga tahun menjalani hidup bersamamu, aku bilang adalah masa terindah yang selama ini aku lewati. Aku selalu takjub dengan caramu mencintaiku. Aku selalu berbahagia dengan kenyataan bahwa kau tak pernah memberiku satupun janji. Dan aku selalu rindu dengan caramu membangunkanku setiap pagi. Iya, aku rindu ketika kau mengecup lembut mataku dan memanggilku dengan cinta”.

“Di kotak biru ini, aku kirimkan semua tulisanku tentangmu setahun ini. Aku percaya kata-katamu bahwa jika kita tulus, laut akan memberikan pesan yang kau kirim pada orang yang memang menjadi tujuanmu. Maka aku yakin, kotak ini akan sampai padamu. Entah dimana itu”.

Aku menghanyutkan kotak biru yang tadi kupersiapkan. Menyorongkan sedikit ke arah laut lepas. Ada banyak hantaman rasa ketika memandang kotak kecil itu terapung-apung, semakin lama semakin jauh. Dia dibawa laut.

“Di… jangan khawatir. Aku akan rutin berkunjung. Karena kau pasti tahu, meski tanpa gundukan tanah yang bisa kutaburi bunga, kau akan selalu ada di hati. Kau sudah punya tempat istimewa di dalam sini. Tak bisa terusik oleh siapapun”.

“Di… kau lihat pria yang berada di atas tebing sana?”.

Aku sedikit memutar badan, memandang pada orang yang kumaksud. Yang duduk di atas jak motor dengan sabar. Dia melempar senyum manisnya.

Aku kembali menatap laut.

“Dia bukan penggantimu, Di. Karena kau memang tak akan pernah terganti. Tapi dialah yang menguatkanku selama ini. Ketika aku begitu terpuruk  dan membenci kenyataan bahwa kau meninggalkanku, di sini. Dia tak pernah meminta untuk menggeser posisimu di hati, karena dia sendiri mengagumi kisah kita, Di. Dan setelah ini, dengan restumu, aku akan menerima dia menjadi orang yang mencoba bersama-sama menjalani hari. Kau sudah dengar khan tadi dia bilang apa sama kamu, Di?!”.

Aku hening. Membuka mata lebar-lebar dan melihat sekeliling. Air. Air dan air.

Kubuka ikatan buket mawar yang kugenggam di tangan kananku. Mencium wanginya sebelum akhirnya kulonggarkan, dan kuhanyutkan.

Semoga mawar itu menyusul kotak biru yang tadi sudah kuhanyutkan.

“Istirahat yang tenang ya, Di. Kau punya dua rumah sekarang. Di laut ini, dan di hatiku…”.

Kugerakkan tanganku pada permukaan air laut itu. Seolah membelai dia, yang setahun lalu tenggelam di pantai sunyi ini. Tepat pada saat kami begitu berbahagia memperingati hari jadi.

Aku berbalik, melangkahkan kaki menuju dia yang masih sabar menanti di atas tebing. Yang selalu memandangku dengan tulus dan selalu kokoh menguatkanku.

 

“Masih mau menjadi orang untuk berbagi hari dan hati denganku?” tanyaku saat aku sudah berdiri di hadapannya.

“Itu satu-satunya harapanku saat ini”, jawabnya.

Kami beranjak pulang dalam diam. Di belakang, aku memeluknya, erat dalam bungkam. Tapi kami sama-sama merasakan, bahwa debaran jantung kami sama-sama bercerita.

Aku siap menyambutmu, wahai “bahagia”.

 

Karena akan datang berjuta bahagia ketika kita mampu mengikhlaskan duka

6 thoughts on “Buih

  1. Dear Tarjo. Yang entah nama nya udah lekat sebagai itu meski itu bukan nama asli. Toh hanya sebuah nama. Untuk sebutan ringan dan rendah hati mungkin.
    Cerita mu yang ini, Ruang dan Buih. Penuh teka teki. Aku terus menerka nerka, dan memahami. Tapi, aku lebih suka dengan Buih ini. Yang entah “Di” itu mati atau kenapa. Humm.. Yang jelas, aku metik hikmah dari tulisan mu. Yang hikmah nya ku ambil sendiri dan tak akan ku bagi. Karena cuma aku yang mengerti..

    ☺☺☺

    1. Dear, Alan
      Makasih untuk apresiasi namanya

      Ruang dan Buih ini, hehehehe… baca dengan pelan dan bayangkan. Karena memang tida dijelaskan detailnya secara implisit melainkan eksplisit.

      Dan wow
      Tarjo seneng banget kalo Alan ada nilai “rahasia” yang bisa kamu petik.
      Thank you

Wanna say something??? Don't be hesitated, please :)